Sejarah Ringkas Al-Ittihadiyah

Al-Ittihadiyah yang bermakna persatuan, didirikan oleh ulama-ulamaSumatera Timur, khususnya K.H. Ahmad Dahlan yang merupakan ulama besar pada zamannya yang berasal dari Tanjung Pura Langkat dan alumnus Universitasal-Azhar, Kairo, Mesir pada tanggal 27 januari 1935 bertepatan dengan tanggal 21Syawal 1353 H di Medan, Sumatera Timur (kini bagian dari propinsi Sumatera Utara).

Organisasi ini dideklarasikan di gedung Zelfstanding Yong IslamitenBond Jalan Sisinga mangaraja, di belakang masjid Raya Medan, dan dihadiri oleh 200 orang yang terdiri atas kaum ulama dan terpelajar.

Dalam pertemuan itu, M. Nasir, Abdullah Afifuddin, dan Abdul Malik menjadi pembicara untukmenjelaskan urgensi mendirikan suatu perkumpulan. Paparan mereka tersebutdisambut baik oleh para undangan, hingga akhirnya dipilah nama “Al-Ittihadiyah”
sebagai nama organisasi Islam tersebut. Lebih dari 100 orang yang hadirmenyatakan diri bersedia menjadi anggota organisasi.

Atas restu Sultan Kerajaan Deli di Medan, disahkan struktur pengurus organisasi Al-Ittihadiyah tahun1935/1936 sebagai berikut:

Ketua Umum : H. Ahmad Dahlan
Ketua Muda I : Lasimun
Ketua Muda II : M. Nasir
Sekretaris I : Abd. Hamid
Sekretaris II : M. syarif Siregar
Bendahara : Abdul Malik
Komisaris : Ok. Amran, H. Azhari, Tasman, M. Ali, Abd. Hamid, Ismail
Penasehat : Syaikh Hasan Maksum, Syaikh Abdullah Afifuddin
Ketua Kehormatan : T. Otteman Sani Perkasa Alamsyah (Sultan Deli), dan Sutan Sulaiman.

Kehadiran Al-Ittihadiyah Sumatera Utara tahun 1935 pada dasarnya merupakan respon umat Islam di wilayah ini terhadap situasi politik dan sosial keagamaan yang berkembang di Indonesia, khususnya Sumatera Timur. Ketika itu, sebagaimana dikemukakan salah seorang mantan ketua umum Pengurus Besar Al-Ittihadiyah, H. Mahmud Abu Bakar dalam Azhar, bahwa Belanda melancarkan politik pecah belah yang melemahkan kekuatan umat Islam dan menghancurkan potensi alim ulama dikarenakan hendak memperkuat kubunya untuk menjajah Indonesia buat selama-lamanya.

Politik adu domba termasuk termakan oleh umat Islam, sehingga muncullah kubu atau kelompok-kelompok yang saling bermusuhan. Pada satu sisi, muncul kaum intelek yang kebarat-baratan yang melontarkan kata-kata yang merendahkan ulama dan umat Islam dengan mengatakan bahwa kaum agama dan alim ulamanya adalah ortodok.

Secara historis, kehadiran Al-Ittihadiyah juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan Islam yang lebih teratur, lebih modern, dan terorganisir ke dalam suatu organisasi, khususnya sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan Islam yang belum tergabung dalam suatu organisasi tertentu. Hal ini secara eksplisit diterangkan dalam pasal 2 Al-Ittihadiyah, dimana pada bab b dan c disebutkan bahwa tujuan didirikannya Al-Ittihadiyah adalah untuk:

b. Mengusahakan berdirinya perguruan Islam,
c. Mengatur dan menyesuaikan kurikulum dalam perguruan Al-Ittihadiyah danlembaga pendidikan yang tergabung dalam Al- Ittihadiyah.

Dalam hal pendidikan Islam, Al-Ittihadiyah melihat bahwa pada era 1930-an, kurikulum perguruan-perguruan Islam di Sumatera Timur masih sangat beragam. Di samping itu, guru-guru yang bertugas pada perguruan-perguruan Islam tersebut juga belum memiliki kesamaan persepsi tentang agama Islam. Oleh karena itulah, Al-Ittihadiyah didirikan.

Pembagian warisan adalah proses yang seringkali memicu berbagai masalah dan ketegangan dalam keluarga. Namun, ketika pembagian warisan menyelisihi prinsip-prinsip moral dan agama, itu dapat menjadi masalah serius yang memiliki konsekuensi besar, bahkan dalam akhirat. Artikel ini akan mengeksplorasi pembagian warisan yang menyelisihi nilai-nilai agama dan moral dalam Islam dan beberapa langkah yang bisa diambil untuk menghindari konflik semacam ini.

Prinsip-Prinsip Agama dan Moral dalam Pembagian Warisan

Pembagian warisan dalam Islam adalah masalah yang diatur oleh hukum Islam yang tegas. Ada aturan yang jelas dalam Al-Quran dan hadis yang mengatur bagaimana harta peninggalan seseorang harus dibagi di antara para pewarisnya. Prinsip-prinsip moral yang mendasari sistem warisan ini mencakup keadilan, solidaritas, dan keharmonisan dalam keluarga. Ketika pembagian warisan menyelisihi prinsip-prinsip ini, itu dapat menjadi tindakan yang melanggar ajaran agama dan etika sosial.

Dampak Akhirat

Pembagian warisan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan agama dapat berdampak pada kehidupan akhirat seseorang. Dalam Islam, setiap tindakan dan keputusan akan dihitung dan dievaluasi pada Hari Kiamat. Jika seseorang telah melakukan pembagian warisan yang tidak adil atau melanggar hukum agama, itu bisa menjadi dosa besar yang harus dihadapkan pada akhirat. Oleh karena itu, penting untuk menjalani proses pembagian warisan dengan integritas dan keadilan.

Langkah-Langkah untuk Mencegah Pembagian Warisan yang Menyelisihi Akhirat

  1. Ketahui Hukum Warisan Islam: Pertama-tama, penting bagi pewaris untuk memahami hukum warisan Islam yang berlaku. Ini melibatkan pemahaman tentang bagaimana warisan harus dibagi sesuai dengan Al-Quran dan hadis.
  2. Konsultasi dengan Ahli Hukum Agama: Ketika ada ketidakpastian atau konflik dalam pembagian warisan, berkonsultasi dengan seorang ahli hukum agama (mujtahid) adalah langkah yang bijaksana. Mereka dapat memberikan pandangan yang lebih mendalam tentang bagaimana pembagian harus dilakukan sesuai dengan hukum agama.
  3. Fasilitasi Dialog Keluarga: Mendorong dialog terbuka dan jujur antara para pewaris adalah kunci untuk menghindari konflik dalam pembagian warisan. Semua pihak harus dapat mengemukakan pandangan mereka dan mencapai kesepakatan yang adil.
  4. Hormati Kehendak Peninggalan: Jika pewaris telah meninggalkan wasiat yang sah, maka wasiat tersebut harus dihormati selama tidak bertentangan dengan hukum agama. Ini juga dapat meminimalkan konflik dalam pembagian warisan.
  5. Kendalikan Emosi: Pembagian warisan sering kali dipenuhi dengan emosi dan ketegangan. Penting untuk menjaga emosi agar tidak mempengaruhi keputusan yang diambil.

Kesimpulan

Pembagian warisan adalah proses yang kompleks dan sering kali penuh dengan potensi konflik. Tetapi, penting untuk mengingat bahwa pembagian warisan yang menyelisihi prinsip-prinsip moral dan agama dapat memiliki konsekuensi yang sangat serius dalam akhirat. Oleh karena itu, menjalani proses pembagian warisan dengan integritas, keadilan, dan kesadaran akan nilai-nilai agama adalah penting dalam melestarikan harmoni dalam keluarga dan mendapatkan pahala di dunia dan akhirat.